Bagi orangtua zaman dulu, pendidikan diidealkan sebagai sarana untuk meraih "kepintaran dan kemandirian." Ini tercermin, misalnya, pada wasiat kebanyakan orangtua Jawa kepada anak-anak mereka, kabeh kowe kudu sekolah ben pinter. Yen pinter iso golek pangan dewe (kalian semua harus bersekolah, biar pintar. Kalau pintar nanti kalian bisa hidup mandiri). Demikian sederhana makna pendidikan yang ditekankan para orangtua zaman dulu. Mereka mencita-citakan anak-anak mereka menjadi orang pintar dan mengerti sehingga kelak dapat hidup mandiri. Dengan demikian, pendidikan diidealkan para orangtua sebagai upaya pembebasan. Ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil, bahwa pendidikan merupakan praktik pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, keterbelengguan, kepicikan, kekerdilan dan ketamakan.
Namun, pada praktiknya pendidikan acap disalahgunakan rezim penguasa. Pendidikan menjadi ajang indoktrinasi ideologi rezim. Akibatnya, orientasi pendidikan tidak lagi mengarah pada pembebasan dan pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Alih-alih, ia lebih merupakan alat dominasi negara atas warganya. Pada tingkat implementasinya, pendidikan sebagai alat kekuasaan ini telah berdampak pada pemiskinan masyarakat baik secara ekonomis, geografis, sosial, budaya dan politik. Buku ini merupakan refleksi atas berbagai persoalan yang membelit dunia pendidikan nasional kita selama rezim Orde Baru. Mengambil inspirasi Paulo Freire, penulis mengkritisi ideologi di balik berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru menyangkut sistem pendidikan nasional kita, mulai dari soal kurikulum yang berubah-ubah, masuknya praktik bisnis ke dalam dunia pendidikan (komersialisasi pendidikan), hilangnya rasa seni dalam pendidikan, matinya profesi guru, mutu pendidikan, hingga disorientasi perguruan tinggi.