Image of Indonesia Dalem Api Dan Bara

Text

Indonesia Dalem Api Dan Bara



Banyak sudah buku-buku sejarah yang menulis rangkaian peristiwa masa-masa pra kemerdekaan khususnya masa peralihan dari pemerintahan kolonial Belanda kepada Jepang dan masa peralihan dari pemerintahan Jepang ke masa-masa revolusi kemerdekaan. Namun peristiwa-peristiwa penting tersebut biasanya hanya ditulis dalam bentuk angka-angka tahun disertai penjelasan-penjelasan singkat dan seperlunya. Sangat jarang buku yang menceritakan masa-masa itu secara mendetail lengkap dengan gambaran masyarakat yang terlibat di dalamnya. Buku Indonesia Dalem Api dan Bara ini rupanya akan melengkapi kelangkaan tersebut karena buku ini memiliki gambaran yang lengkap dan luas mengenai peristiwa, suasana dan kondisi sebagian masyarakat Indonesia yang hidup di masa itu.
Buku ini ditulis ditulis oleh seorang Tionghoa yang memiliki nama pena Tjamboek Berdoeri, pertama kali terbit pada tahun 1947 di kota Malang yang pada saat itu diduduki oleh Tentara Belanda. Ketika pertama kali diterbitkan nama penerbit dan identitas asli penulisnya sengaja tidak dicantumkan untuk melindungi penerbit beserta penulisnya kalau-kalau buku ini mendapat sensor dari tentara Belanda. Buku ini ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Tionghoa Pasaran yang dibumbui oleh bahasa Belanda dan Jawa. Isinya menceritakan berbagai peristiwa yang dialami langsung oleh penulis dari tahun 1941 hingga 1947. Buku ini kini diterbitkan kembali atas prakarsa Ben Anderson, seorang Indonesianist asal Cornell University Amerika Serikat dengan tetap mempertahankan keaslian bahasa dan ejaannya. Selain kisah asli dari Tjamboek Berdoeri, buku ini juga dilengkapi dengan kata pengantar yang komprehensif sebanyak 78 halaman dari Ben Anderson, kisah pengungkapan jati diri Tjamboek Berdoeri, sejarah kota malang dan foto-foto pendukung serta riwayat hidup Kwee Thiam Tjing.
Karya asli Tjamboek Berdoeri yang berjudul Lelatoe Jang Djadi Laoetan Api di buku ini dimulai dengan situasi mencekam menjelang masuknya tentara Jepang di Indonesia. Saat itu sekitar tahun 1940 Hitler secara tiba-tiba menyerbu Belanda, hal itu kemudian diperburuk dengan larinya Ratu Belanda menuju Inggris sehingga rakyat Belanda mau tidak mau harus menyerah pada kekuasaan Hitler. Sadar akan keadaan tanah airnya yang menjadi negara terjajah dan invasi tentara Jepang yang mulai mengincar kawasan Asia, pemerintah Belanda di Indonesia merasa khawatir kedudukannya terancam dan mulai mempersiapkan diri untuk berperang. Salah satunya yaitu dengan mendirikan stadwatch yaitu para militer yang bertugas sebagai penjaga kota yang anggotanya direkrut baik dari penduduk Indonesia baik pribumi, Arab, Belanda atau Tionghoa. Penulis termasuk salah seorang dari sedikit golongan Tionghoa yang mendaftar sebagai stadwatch.
Ketika akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat pada balatentara Jepang maka secara otomatis stadwatch hanya berfungsi sebagai polisi cadangan yang tidak dipersenjatai, hal ini membuat wibawa stadwatch menjadi hancur dan menjadi bahan olokan penduduk sipil. Ketika akhirnya stadwatch dibubarkan maka penulis diangkat sebagai ketua RT di sekitar tempat tinggalnya yang merupakan perkampungan orang-orang sipil Belanda. Buku ini juga melukiskan masa pendudukan Jepang sebagai masa yang penuh penderitaan. Berbagai peraturan dibuat oleh tentara Jepang untuk membatasi gerak-gerik penduduk, toko-toko kaum Tionghoa dijarah oleh tentara Jepang, gadis-gadis cantik diperkosa sehingga setiap gadis terpaksa harus membuat dirinya terlihat jelek dan kumal untuk menghindari tatapan mata tentara Jepang yang doyan wanita cantik. Kehadiran polisi rahasia Jepang ‘Kenpeitai’ menambah keresahan masyarakat, mereka dengan mudah dapat menangkap dan menyiksa penduduk yang dicurigai sebagai mata-mata musuh hanya berdasarkan laporan seseorang tanpa penyelidikan lebih lanjut.
Para officer dan orang sipil Belanda turut juga merasakan kekejaman tentara Jepang, kaum prianya dipekerjakannya di perkebunan teh sedangkan perempuan dan anak-anaknya dikumpulkan dalam kamp-kamp konsentrasi yang tidak layak huni.
Ketika akhirnya Jepang menyerah dan tentara sekutu belum melakukan apa-apa maka muncullah kelompok-kelompok bersenjata pribumi yang mendesak tentara Jepang untuk mengalihkan kekuasaannya dan kelompok-kelompok ini pula yang nantinya melakukan perlawanan yang hebat terhadap tentara sekutu di berbagai kota. Di kota Malang tempat penulis tinggal kelompok -kelompok ini menjadi tak terkendali dan melakukan pemboikotan bahan makanan terhadap keluarga-keluarga Belanda, mereka menawan penduduk sipil Belanda dan membumihanguskan kota dengan membakar rumah-rumah mereka. Penulis yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua RT di lingkungan yang banyak dihuni penduduk sipil Belanda berusaha menghentikan tindakan anarkis mereka. Namun ironisnya penulis tak mampu menghentikan tindakan anarkis kelompok-kelompok itu yang membakar kampung pecinan di mana banyak sanak saudaranya tinggal. Saat itu seluruh penduduk pecinan di kota Malang diluluh lantakkan oleh api dan seluruh penghuninya dibawa ke suatu tempat untuk diinterrogasi, mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh dibantai secara keji. Peristiwa ini menjadi penutup dari keseluruhan kisah di buku karya Tjamboek Berdoeri ini, sebuah tragedi kemanusiaan dari sebuah revolusi.


Ketersediaan

I03796-C1I03796My LibraryTersedia

Informasi Detail

Judul Seri
-
No. Panggil
I03796
Penerbit Elkasa : Jakarta.,
Deskripsi Fisik
14,5 x 21 cm / 398 pg
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
9799836719
Klasifikasi
959.8 / BER / i
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subjek
Info Detail Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaDetail XMLKutip ini