Detail Cantuman
Pencarian SpesifikText
Agama, Kebudayaan Dan Ekonomi: Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura / Huub de Jonge (Editor)
Bertebaran buku-buku yang mengkaji tentang Madura, namun sedikit yang mengulas secara lengkap tentang Madura dari sisi antropologis sekaligus sejarah. Buku karya Huub De Jonge ini menarik karena keterlibatan studi antropologi (utamanya antropologi ekonomi) dan pendekatan sejarah sekaligus. Buku Jonge ini sangat menarik karena merupakan kumpulan tulisan tentang berbagai hal tentang Madura sejak keberagamaan Madura sampai konflik antaretnis di Kalimantan yang melibatkan orang Madura.
Madura dari sisi sejarah terlihat dari bab-bab pertama buku ini yang berisi paparan bernuansa sejarah. Bab pertama mengulas tentang Keregenan Sumenep di masa VOC dan Hindia Belanda, bab kedua membicarakan tentang Negara dan Petani Garam di Madura sementara bab ketiga membicarakan tentang stereotip orang Madura dari sudut pandang kolonial. Bab Ketiga ini sepertinya sama dengan bab serupa tentang stereotip orang Madura dalam buku Manusia Madura (2007) karya Mien Ahmad Rifai. Bab sejarah ini merupakan “pukulan halus” bagi “keyakinan publik” masyarakat Madura yang sering melihat masa lalunya secara superior dan flamboyan. Di Madura termasuk Sumenep misalnya sering mendudukkan para raja sebagai tokoh heroik yang dapat menularkan berkah. Di pekuburan Asta Tinggi, tempat para raja dimakamkan jamak dijumpai masyarakat Madura (dan juga peziarah non Madura) yang begitu hormat kepada para raja seakan semua raja tersebut adil ketika memerintah. Padahal, penelusuran Jonge cukup memberi arti baru. Dalam bab pertama buku gamblang disebut bahwa para penguasa Sumenep sebenarnya adalah adipati (regen) dari pemerintah Belanda. Dengan data sejarah yang valid Jonge mampu menyebut bahwa raja Sumenep dalam kurun tertentu adalah para regen yang begitu baik hati untuk membantu Belanda dalam sejumlah perang termasuk perang Diponegoro dan perang Aceh. Regen-regen itu membantu dengan tentara Madura yang disebut Barisan.
Kajian antropologi ekonomi dipaparkan oleh Huub De Jonge dalam bab-bab mengenai orang Madura Raas yang bekerja di Bali. Kajian menarik yang disuguhkan Huub De Jonge tentang masyarakat Raas di Bali menjadi lebih menarik ketika Jonge juga memaparkan kondisi perdagangan masyarakat Raas saat masa nahas melanda yaitu masa pasca Bom Bali. Jonge nampaknya mengkaji masyarakat Raas ini dengan empati. Selain melihat sisi negatif masyarakat pekerja Raas di Bali, Jonge juga mampu menunjukkan sikap obyektifnya sebagai peneliti. Jonge melihat bahwa keimanan masyarakat Raas tak berubah bahkan mampu menjadi semacam identitas spesial bagi etnis Madura Raas di Bali. Orang Raas meskipun berdomisili di Bali, namun tetap teguh dengan budaya keislamannya sejak shalat Jumat, Tarekat, pendidikan pesantren bagi putra-putri, serta loyalitas pada budaya pribumi untuk tidak meniru orang-orang barat. Orang Raas juga mampu menangkal setiap diskriminasi yang ada akibat perilaku sebagian orang Raas yang dipandang negatif oleh etnis lain di pulau Bali (halaman 166-167).
Namun, sikap empati bagi Jonge bukan lantas mematikan fakta-fakta gelap untuk diangkat. Pastinya, Jonge sebagai antropolog mampu melihat dengan baik bahwa orang Madura hadir dengan skala prioritas tertentu dalam obyek kajiannya. Jonge melihat bahwa dibalik flamboyanitas aduan sapi yang begitu menyejarah pada tradisi orang Madura di ujung Jawa Timur terdapat pula unsur-unsur tak menyenangkan jika dilihat dari stereotip orang Madura sebagai etnis santri yang monoloyalitas pada ulama. Judi dalam aduan sapi jelas menunjukkan sisi gelap keberagamaan orang Madura di luar masjid dan pesantren. Menurut Jonge, aduan sapi pasti berkait dengan judi, kekerasan, dan kericuhan sekaligus. Hal tersebut lumrah ditemui pada setiap aduan sapi, bahkan kontes aduan sapi sering dimaknai sebagai kontes simbolik tentang kehormatan dan status suatu kelompok atau individu.
Namun sisi gelap ini bukan tanpa paradoks. Tetap saja ada orang Madura yang mengkritik aduan sapi baik aduan sapi legal maupun gelap. Dengan mengutip majalah Tempo tahun 1986, Jonge melihat bahwa aduan sapi justru ikut membelah politik masyarakat. Pendukung PPP, partai favorit Orang Madura adalah penentang aduan sapi, sementara Golkar dan petinggi ABRI adalah pendukung aduan sapi. Sayangnya, Jonge tak mengkaji lebih lanjut aspek politik yang berkait dengan kebudayaan spesial etnis Madura ini.
Ketersediaan
I15804-C1 | I15804 | My Library | Tersedia |
Informasi Detail
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
I15804
|
Penerbit | Rajawali Pers : Jakarta., 1989 |
Deskripsi Fisik |
13,5 x 20,5 cm / 320 pg
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
979421136
|
Klasifikasi |
306.089.598.24 / JON / a
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subjek | |
Info Detail Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain