Jenderal (purnawirawan) ini telah berangkat tua. Hampir delapan puluh tahun dia meniti hidup. Sebuah perjalanan yang sungguh amat panjang. Ibarat air sungai yang terus-menerus mengaliri kehidupan, menjelajahi lelumutan, bebatuan, kelokan-kelokan tajam, dan menikmati kecipak sirip ikan-ikan kecil, dia tak henti mewariskan gagasan, prinsip, sikap hidup, dan kritik. Apa yang bisa kita petik dari perjalanan panjang sang "jenderal tanpa pasukan" ini? Di manakah letak kekuatan dan ketegaran pemikirannya di tengah arus informasi yang menderas?
Buku ini sepertinya ingin berbisik lewat hati nurani sang jenderal. Merupakan kumpulan wawancara yang pernah dimuat di media massa, ia mengisahkan sepenggal perjalanan hidup Abdul Haris Nasution tentang banyak hal: dari soal cekal, Petisi 50, korupsi, hingga kekerasan politik. Bisikan-bisikan Jenderal TNI (purn.) A. H. Nasution selama ini tampaknya memang seperti tertutupi oleh berita-berita di seputar kontroversi mengenai dirinya.
Dalam Republika, 15 Juli 1993, diberitakan bahwa Menko Polkam Soesilo Soedarman mengutip ucapan Presiden Soeharto yang berbunyi, "Antara saya dan Pak Nas tetap berhubungan baik. Tidak ada masalah. Saya tak pernah menganggapnya pembangkang. Kalau selama ini ada perbedaan pendapat, itu soal biasa. Perbedaan pendapat diakui di negara yang menganut demokrasi Pancasila." Dan dalam Editor, 24 Juli 1993, sewaktu Wapres Try Sutrisno diminta komentarnya tentang Pak Nas, beliau di antaranya mengatakan bahwa, “... Pak Nas adalah sesepuh Angkatan Darat."