Dengan buku ini, sekali lagi Kuntowijoyo menunjukkan analisisnya yang tajam atas perkembangan mutakhir politik dan budaya di Tanah Air. Dengan tetap menyadari bahwa realitas memiliki dinamika berikut “hukum-hukumnya” sendiri -- yang sering tak mudah dirumuskan, apalagi ditanggapi dengan semestinya -- Kuntowijoyo terus mengingatkan betapa pentingnya kita menyusun semacam agenda dan strategi kebudayaan yang sistematis dan terencana.
Nah, salah satunya adalah demitologisasi cara berpikir masyarakat Indonesia. Sejumlah bukti ditunjukkan oleh Kuntowijoyo bahwa masyarakat Indonesia dihidupi dan digerakkan oleh mitos-mitos -- dari mitos Ratu Adil pada Soekarno, mitos Bapak Pembangunan pada Soeharto, mitos Kemajuan Teknologi pada Habibie, mitos Pemersatu Nasional pada K.H. Abdurrahman Wahid, mitos Sang Korban pada PDI-P, hingga mitos cargo cult pada gerakan separatisme di Aceh, Papua, dan Riau. Demitologisasi, menurutnya, dapat dilakukan dengan sekurang-kurangnya empat pendekatan: memperkenalkan ilmu pengetahuan, memurnikan ajaran agama, memberi kesadaran sejarah, dan menghidupkan kesenian. Buku Kuntowijoyo yang satu ini sungguh dibutuhkan tidak cuma untuk membaca “ada apa dengan Indonesia”, tetapi juga “mau apa Indonesia”, tetapi juga “mau apa Indonesia” dewasa ini.