Detail Cantuman
Pencarian SpesifikText
Mengabdi Tuhan Dan Mencintai Liyan: Penghayatan Agama Di Ruang Publik Yang Plural (26) / Alphonsus Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla, Yustinus (Editor); Beragama Di Indonesia (38-43)
Ruang publik adalah tempat di mana semua orang dari berbagai suku, agama, ras, dan golongan, hadir, berkegiatan, berinteraksi bersama dan bermusyawarah untuk mengejar cita-cita bersama, yakni kebaikan umum. Dalam ruang publik setiap orang, tanpa kekecualian, disambut dan diundang untuk berpartisipasi secara aktif dalam membangun kesejahteraan bersama, dengan hak dan kewajiban yang sama, masing-masing mempersembahkan yang terbaik dari dirinya dengan segala kekuatan fisik, rohani, moral, mental, dan intelektual. Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ruang publik dan "rumah bersama" bagi setiap warga negara Indonesia. Dalam kehidupan dan berbangsa di "rumah bersama" itu semestinya tidak boleh ada ghetto-ghetto berdasarkan kesamaan suku, agama,
ras, dan golongan, yang sekadar hidup bertetangga dalam kedamaian yang semu. Dalam ruang publik setiap orang berjumpa dengan liyan, dan sekaligus merupakan liyan bagi orang lain. Karena itu, dalam ruang publik setiap
perbedaan tidak boleh mengental atau mengkristal, melainkan sebaliknya harus "mencair" demi memupuk kohesi sosial masyarakat plural. Tidak mudah menemukan "roh pemersatu" ketika jumlah penduduk sudah sedemikian banyak, tersebar di ribuan pulau, dengan latar-belakang religius dan sosio-kultural yang amat majemuk. Syukur kepada Allah bahwasanya bangsa dan negara Republik Indonesia pada saat berdirinya telah menemukan "roh pemersatu" itu, yang diekspresikan oleh the founding fathers bangsa dalam dasar negara Pancasila. "Roh Pemersatu" itu bahkan sudah merupakan tekad para pemuda Indonesia ketika mengangkat "sumpah kesatuan dalam kebhinnekaan" pada tanggal 28 Oktober 1928.
Kita perlu merevitalisasi Pancasila dalam semua aspek dan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat plural Indonesia. Di satu pihak negara perlu menjamin kebebasan agama dan kebebasan beragama/ berkeyakinan bagi setiap warga, sambil tetap menegakkan ketertiban umum dan keadilan. Di lain pihak negara perlu merekonstruksi hubungan agama dan negara yang baik dan sehat. Negara perlu menghindarkan diri dari godaan melakukan intervensi terlalu jauh ke dalam wilayah-wilayah internal agama, mengatasi kerangka pikir dan kebijakan berdasarkan dikotomi mayoritas-minoritas agama. Pemerintah dan para pemuka agama perlu bekerja sama secara sinergis, agar tidak meminggirkan agama dari ruang publik, namun sekaligus tidak menggiring agama untuk dijadikan tunggangan politik kekuasaan.
Gereja dan umat Katolik sendiri tidak boleh minder atau takut atas nama minoritas. Mereka harus terus menjadi pewarta sekaligus saksi yang ulung dan ulet dalam cinta-kasih kristiani, yang merangkul semua orang yang berkehendak baik. Mereka dipanggil untuk mengenakan semangat “pengosongan diri” Kristus, dengan menjadikan liyan lebih utama dari pada diri sendiri (lih. Flp 2:3).
Ketersediaan
I12758-C1 | I12758 | My Library | Tersedia |
Informasi Detail
Judul Seri |
Seri Filsafat Teologi Widya Sasana 26
|
---|---|
No. Panggil |
I12758
|
Penerbit | STFT Widya Sasana : Malang., 2017 |
Deskripsi Fisik |
324 p., 20,8 cm
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
14119005
|
Klasifikasi |
Carmel, II No.1203/26
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subjek | |
Info Detail Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain