“Prahara Politik” Mei 1998. Adalah peristiwa yang “Tragis” dan “Dramatis” dalam sejarah politik kontemporer di Indonesia. Memang telah banyak yang mengungkapkan peristiwa ini, baik dalam bentuk buku, artikel, laporan jurnalis maupun dari para komentator dari dalam negeri dan luar negeri.
Buku “Berhentinya Soeharto; Fakta dan Kesaksian Harmoko yang ditulis oleh Bung Firdaus Syam, melihat dari sisi yang lebih fokus, lugas dan dalam, yakni apa dan bagaimana peran yang dimainkan Bung Harmoko, sebagai sosok politisi yang “piawai”; cerdik, lincah dan populer, pada saat itu. Masih ingat kita dengan ungkapan dari nama Harmoko yang diplesetkan masa itu; “Hari-hari Omong Kosong”. “Hari-Hari Omong Konkret”, “Hari-hari Omong Komunikasi”, “Hari-hari Omong Komunikasi” sampai kepada Supir dan Kernet oplet itu, meneriakkan “Harmoko...! Harmoko...! (maksudnya: Harmoni-Kota).
Buku ini akan “menguakkan” fakta dan kesaksian Bung Harmoko selaku pelaku sejarah sekaligus pejabat negara yang berkedudukan sebagai Ketua Lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara – DPR/MPR RI Periode 1998. Ia yang dengan “lugas”, berani namun dengan “santun”, meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang Presiden, hanya dalam kurun waktu 70-hari setelah pengangkatannya, atau kurang dari 70 jam sejak pernyataan Pres Ketua DPR/MPR itu membacakannya di hadapan para mahasiswa dan segenap masyarakat luas dari gedung DPR/MPR yang saat itu dikenal sebagai “Rumah Rakyat”.
Kenapa Palu Sidang MPR itu patah saat Soeharto terpilih ketujuh kalinya? Kenapa Bung Harmoko meminta Soeharto mundur? Kenapa ia begitu “berani” dan lugas? Kenapa harus di Istana Negara tetapi menghadap Pimpinan DPR? Kenapa Bung Harmoko sampai kini tetap hormat kepada Soeharto? Banyak hal buku ini telah menjawabnya. (Fir-dhie/5/008)