Berbagai kasus korupsi, mafia hukum, mafia peradilan, "makelar kasus", dagang "perkara" dan percaloan, hingga "wartawan amplop" dan pengadilan diibaratkan sebagai "surga koruptor", "Kasih Uang Habis Perkara" (KUHP), kasus suap, yang melibatkan anggota DPR, penegak hukum, penjahat, birokrat terus merebak dan membentang dari pusat hingga daerah. Partai politik diibaratkan sebagai "sekolah" bagi para calon koruptor. Hal ini memperlihatkan lemahnya transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas DPR yang kini mengalami erosi. Masyarakat menjadi skeptis, 'kurang percaya' terhadap tiap diskursus keterwakilan, melalui sikap permisif dan indiferen. Erosi kepercayaan ini berdampak pada eskalasi sosial dan menimbulkan minimalisme moral. Karut-marut situasi bangsa dan negara yang kian marak ini menjadi alasan mengapa negara ini dijuluki Negeri Mafia, Republik Koruptor.
Buku ini, selain menunjukkan urgensi tanggung jawab seorang wakil rakyat, juga menyembulkan semacam "batas" agar kasus korupsi tak berbias ke tengah publik. Benny K. Harman menyematkan harapan, tidak terutama tentang sebuah "rumah" dan masyarakat Indonesia umumnya, tapi terutama tentang DPR yang bersih dari korupsi. Fokus kajian buku ini adalah praktek kekuasaan menyimpang akibat kekuasaan minim kontrol sebagai sebab utama korupsi. Buku ini mengupas Peran DPR Era Reformasi dalam Memberantas Korupsi antara harapan dan kenyataan. Melalui buku ini, penulis tak hanya mempresentasikan pelbagai persoalan korupsi yang menjalar di berbagai instansi, namun juga rekomendasi berkaitan dengan fungsi DPR sebagai solusi dalam mengurai benang kusut problematik pemberantasan korupsi. Bene diagnoscitur, bene curator, yang didiagnosis dengan baik akan diobati dengan baik.