Selama 40 tahun terakhir, sejak Kompas terbit pertama 28 Juni 1965, para wartawan koran ini berusaha menyajikan laporan, foto dan karikatur sebaik mungkin. Tuntutan tugas telah menghadirkan mereka di kesibukan metropolitan Jakarta sampai dataran tinggi Iran. Melaporkan kehidupan para tapol di Pulau Buru berikut semaraknya acara penobatan Sultan di Keraton Yogyakarta. Mereka rela dihantam gelombang lautan Pasifik bersama perahu Phinisi Nusantara tetapi juga menikmati kenyamanan terbang dua kali kecepatan suara membelah angkasa dengan pesawat Concorde.
Laporan kompas selama 40 tahun yang kini dibukukan merupakan rangkuman warna-warni pengalaman, kesaksian berikut wawancara dengan sejumlah sosok dan peristiwa yang melintasi panggung sejarah nasional dan internasional. Mengikuti jamuan minum teh Kaisar Akihito di Istana Tokyo atau dipeluk kecemasan bersama pasukan pemberontak Burundi di pojok Afrika. Menangis dengan masyarakat Sarajevo yang menemukan kotanya hancur lebur hingga alporan meluapnya kegembiraan rakyat Banglades ketika menyambut datangnya kemerdekaan.
Buku ini mengisahkan derita yang memeluk pekerja perempuan di balik gang-gang sempit di Tangerang berikut pengalaman menyeludup ke Malaysia bersama apa yang dinamakan pendatang haram. Berusaha mencatat kepedihan hari terakhir becak beroperasi di Jakarta serta merasakan keterkejutan masyarakat tradisional saat kawasan industri modern dihadirkan di Nanggroe Aceh Darussalam. Mengamati dengan rasa pedih lalu lintas bisnis narkoba di tengah belantara ibu kota berikut perjalanan hiruk-pikuk mengangkut ternak melintas pada sabana di Pulau Sumba.
Tidak semua kisah sukses, tidak selamanya penderitaan yang berkepanjangan. Bukan segalanya sebuah keberhasilan, sebagian adalah kegagalan. Tetapi, bola waktu terus berputar, peristiwa datang silih berganti. Selama perjalanan waktu itulah, para wartawan Kompas berusaha untuk tetap bisa menulis laporan secara tulus, mendalam, tidak partisan dan tetap berlandaskan empati.