Image of Perspektif Teologi & Filsafat Al Ghâzalî Dan Hume: Kritik Dekonstruktif Nalar Kausalitas Dalam Teologi Dan Filsafat

Text

Perspektif Teologi & Filsafat Al Ghâzalî Dan Hume: Kritik Dekonstruktif Nalar Kausalitas Dalam Teologi Dan Filsafat



Teori Kausalitas memiliki akar sejarah yang panjang. Di masa Yunani, Aristoteles menegaskan teori ini dengan mendeskripsikan akan adanya empat macam sebab. Teori ini kemudian diadopsi serta dikembangkan oleh para filosof baik di dunia Islam maupun di kalangan Kristen. Tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, St. Anselmus, Thomas Aquinas dari skolastik Kristen, tercatat sebagai golongan yang mendukung teori ini.
Namun, meski teori kausalitas didukung oleh banyak filosof, bukan berarti teori ini berkembang tanpa kritik. Salah satu sisi kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam misalnya, adalah munculnya kritik tajam Al-Ghazali (1058-1111 M). Bagi Al-Ghazali konsepsi hukum kausalitas sepenuhnya menjadi otoritas Tuhan. Bahkan Al-Ghazali – dalam kaitannya untuk mempertahankan arti mukjizat secara tradisional – sangat meragukan berlakunya hukum tersebut. Tuhan menurutnya dapat dengan mudah merubah tongkat menjadi ular tanpa harus melalui format aturan logis-rasional yang benar berdasarkan tata aturan prinsip-prinsip sebab-akibat.
Refleksitas dari asumsi Al-Ghazali ini secara signifikan berimplikasi pada pandangannya terhadap relatifivitasisme eksistensi prinsip-prinsip sebab akibat yang ada di alam. Bagi Amin Abdullah, resistensi Al-Ghazali pada keniscayaan kausalitas menjadi kontra produktif terhadap konstruksi positivisme sains-teknologi, dan berimplikasi negatif bagi pembentukan semangat etos kerja kemanusiaan.
Namun belakangan pada abad ke 17 sikap Al-Ghazali ini mendapat legitimasi dari David Hume (1711-1777 M), seorang filosof Barat yang paling terkenal dari kaum empiris. Hume menekankan bahwa peristiwa kausalitas hanyalah hubungan saling berurutan an sich yang secara konstan terjadi. Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu. Semua gagasan hanya bersifat subyektif karena datang dari pikiran. Khususnya dari hukum psikologi penggabungan gagasan. Bagi Hume, gagasan keterkaitan wajib antara sebab dan akibat bukan pada objek yang kita amati, melainkan hanya pada pikiran kita.
Dari sini, antara Al-Ghazali dan Hume, ada beberapa hal menarik untuk diperbincangkan; Bagaimana sesungguhnya teori kausalitas mereka? Jika penolakan Al-Ghazali terhadap kausalitas karena landasan metafisis-teologis, sedangkan Hume berdasarkan pendekatan emperis-konkret nir teologis, mengapa mereka memiliki kesamaan pandangan, padahal keduanya berpijak dari argumentasi yang diametral-kontradiktif? Bagaimana eksistensi pemikiran keduanya pada konteks kekinian, implikasi apa yang muncul dari paradigma kausalitas seperti itu?
Lewat pendekatan dan metodologi yang sangat bertolak belakang, buku ini “membongkar” sikap Al-Ghazali dan Hume ketika menafikan prinsip berlakunya hukum sebab akibat. Kesimpulan yang dianggap paralel ini menjadi menarik untuk dieksplanasikan lewat penghadapan keduanya di “muka cermin” perbandingan.


Ketersediaan

I00393-C1I00393My LibraryTersedia

Informasi Detail

Judul Seri
-
No. Panggil
I00393
Penerbit Madani : Malang.,
Deskripsi Fisik
14 x 20 cm / 230 pg
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
9786029580594
Klasifikasi
121 / NAW / p
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subjek
Info Detail Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaDetail XMLKutip ini