Image of Memperingati Perayaan 40 Tahun STFT Widya Sasana

Text

Memperingati Perayaan 40 Tahun STFT Widya Sasana "Bersama Bertolak Ke Tempat Yang Dalam"



Hampir setiap hari, kita menerima berita (dan mungkin juga mengalami) aneka bentuk kekerasan. Kita dapat menyebutkan beberapa contohnya: tawuran massal, fundamentalisme dan fanatisme agama, peperangan, diskriminasi rasial dan sebagainya. Itu hanyalah sebagian dari sekian macam bentuk kekerasan yang akrab di telinga kita. Kita tentu dapat bertanya, apakah yang menyebabkan semuanya itu? Aneka jawaban dapat diberikan untuk menjelaskan semua fenomena di atas, mulai dari alasan paling mudah (seperti: perasaan tersinggung, akibat pengaruh negatif teknologi komunikasi dan informatika, dan sebagainya) sampai dengan alasan yang lebih rumit (ketidakadilan, masalah nasionalisme sempit, kecemburuan sosial dan sebagainya). Tetapi, sebenarnya, semua persoalan itu dapat diasalkan pada kenyataan bahwa masyarakat kita
'Krisis kebenaran' merupakan pudarnya kemampuan manusia untuk mencari kebenaran bersama-sama. Di tengah masyarakat di mana aneka budaya dan keyakinan dimungkinkan untuk bertemu dengan mudahnya, ada risiko bahwa aneka keyakinan dan budaya tersebut dapat saling berbenturan. Setiap kelompok dapat mengklaim bahwa kelompok merekalah yang "paling benar" dan kelompok lain salah dan pantas dilenyapkan. Dalam iklim seperti ini, tidak mungkinlah membangun dialog yang sehat. Penolakan untuk berdialog bisa juga disebabkan oleh keyakinan bahwa tidak ada ('nihil') jalan untuk memperoleh kebenaran.
Alasan mereka yang menganut nihilisme adalah: akal budi (rasio) maupun iman tidak menjamin manusia menemukan kebenaran dan kebaikan. Buktinya? Pemutlakan rasio (dengan menonjolkan penelitian rasional dan temuan-temuan teknologi sebagai salah satu produknya) telah membawa petaka kepada hidup manusia. Di mana-mana masih ada peperangan dengan senjata pemusnah massal yang canggih, eksploitasi/perusakan alam, penghancuran hidup manusia, kemiskinan yang semakin membengkak, dan seterusnya. Sedangkan penekanan berlebihan pada kuasa iman (dengan menolak rasio manusia karena rasio dianggap anti-Tuhan) membuat manusia kehilangan daya kritisnya ketika mencari kebenaran di balik teks-teks suci agama. Penganut nihilisme juga meragukan kemampuan agama-agama untuk menciptakan damai di bumi. Setelah sekian abad, agama-agama toh telah terbukti gagal menciptakan hidup bersama secara harmonis. Demikian tuduhan mereka.
Di balik diskusi yang serius ini, sesungguhnya orang mempersoalkan kaitan antara iman dan rasio (akal budi) dalam mencari kebenaran. Dengan kata lain, kita mau berbicara tentang hubungan teologi dan filsafat. Mengapa filsafat dan teologi merupakan teman dialog dalam upaya kita - umat beriman – mencari Kebenaran? Apa peranan dan sumbangan keduanya? Bagaimanakah agar iman dan rasio, filsafat dan teologi dapat menemukan keselarasan yang konstruktif dalam rangka membangun penghayatan iman yang sehat? Itulah sejumlah persoalan yang kiranya dapat mengemuka dalam acara dialog terbuka (talkshow) ini. Kami berharap agar acara ini membawa banyak manfaat bagi umat Katolik di Surabaya dan siapa saja yang mau menghayati iman mereka secara sehat dan mendalam.


Ketersediaan

I29692-C1I29692My LibraryTersedia

Informasi Detail

Judul Seri
Dialog Terbuka "Perlukah Iman Itu Rasional?" - Surabaya, 4 Desember 2011
No. Panggil
I29692
Penerbit STFT Widya Sasana : Malang.,
Deskripsi Fisik
40 p., 21 cm.
Bahasa
Indonesia
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Carmel, II No.964
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subjek
Info Detail Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaDetail XMLKutip ini