Tak dinyana. Ibu rumah tangga yang banyak senyum itu, dalam tiga tahun telah berubah menjadi pemimpin yang dipercaya akan merintis perubahan. Di pundak Megawati Soekarnoputri, bukan hanya harapan yang ditaruh, tetapi juga dukungan rakyat. Ketika kongres di Medan menggusur Megawati, massa PDI, spontan membela. Simpatisan PDI, beramai-ramai menyumbang gula, minyak tanah, beras dan uang. Suasana spontan dan sukarela, yang menandai setiap masa peralihan, terasa muncul kembali.
Kenapa Mega digusur? Penggusuran, mungkin, terjadi karena para pendukung Mega nekad mencalonkan putri sulung Bung Karno itu, untuk pemilihan presiden 1998. Gagasan yang dilanjutkan dengan gerakan pengumpulan tanda tangan itu, tampaknya membuat resah sebagian pendukung status quo. Presiden Soeharto pun langsung memberi isyarat, bahwa voting bukanlah cara terbaik dalam Sidang Umum MPR. Artinya, calon presiden tak boleh lebih dari satu.

Konspirasi pendongkelan Megawati, tampaknya merupakan bentuk campur tangan oknum-oknum pemerintah yang paling telanjang selama ini. Kodim-kodim bergerak mempengaruhi DPC PDI agar ikut kongres. Panglima ABRI Jendral Faisal Tanjung, terang-terangan mendukung kongres ala Soerjadi. Apa yang mungkin tak terbayangkan oleh para dalang itu adalah ketidakpuasan masyarakat telah begitu meluas, sehingga mereka tinggal momen dan pemimpin, untuk mengorganisir perlawanan. Ketika Kantor PDI diserbu orang-orang Soerjadi dengan dukungan ABRI, kemarahan massa tak dapat dibendung. Puluhan kantor dan mobil dibakar. Intifadah bermunculan. Jakarta mirip zona perang yang menegangkan.
Bagaimanapun keputusan Mega untuk menerima panggilan sejarah – sebagai pemimpin perubahan – tampaknya merupakan pilihan yang tepat. Ia berpotensi menjadi seperti Aung San Suu Kyi di Burma atau Benazir Bhutto di Pakistan. Mega bisa menjadi simbol perlawanan rakyat, kata pakar politik Arbi Sanit.